Optimasi Teknologi dalam Membangun Ekonomi Kreatif - PKKMB FE UNESA 2020 "MASAYUKI WATANABE"
“Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman” begitulah sepenggal lagu yang mendefinisikan
tanah Indonesia.Indonesia dikenal sebagai
negara agraris yang diberkahi dengan bentang alam yang luas daniklim tropis yang memiliki intensitas hujan tinggi serta
sinar matahari yang cukup sepanjang tahun.Dilihat dari sisi geologi, Indonesia pun
terletak di daerah ring of fire pada
titik pergerakan lempeng tektonik aktif yang menyebabkan terbentuknya
pegunungan kaya akan mineral. Karena faktor tersebut, negara ini
memiliki kualitas tanah yang menunjang tumbuhnya keanekaragaman
hayati.Sehingga, banyak penduduk Indonesia yang bermata pencaharian sebagai
petani atau bercocok tanam.Oleh karena itu, Indonesia disebut sebagai negara
agraris.
Sumberdaya alam seperti ini seharusnyamembangkitkan Indonesia
menjadi negara makmur yang mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Namun
pada kenyataannya pasokan pangan masyarakat di tanah air masih dipenuhi dengan
mengimpor dari negara lain, seperti Vietnam, Thailand, India, Myanmar, bahkan
Pakistan. Sungguh kondisi yang sangat ironis, mengingat pada era 1980-ansejarah
mencatat Indonesia pernah mengalami masa
swasembada pangan, khususnya komoditas beras. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), pada saat itu produksi beras
nasional mencapai angka sekitar 27 juta ton, sementara konsumsi beras dalam
negeri tidak mencapai 25 juta ton.Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada era
1980-an Indonesia mengalami stabilitas ketahanan pangan.Indikator tersebut
ditandai dengan harga pangan yang terjangkau.[1]
Tampak begitu perkasanya ketahanan pangan
Indonesia kala itu, Namun pada kenyataannya ketahanan pangan Indonesia ternyata
rapuh.Swasembada yang dibanggakan tersebut hanya mampu bertahan selama lima
tahun. Hal ini mengharuskan Indonesia melakukan impor untuk menjaga kestabilan
ketahanan pangan.Bahkan pada 1995 ketergantungan terhadap impor beras melambung
hingga mencapai angka sekitar 3 juta ton.Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) dan BPS (Badan Pusat Statistik)
persoalannya cukup dinamis, mulai dari persediaan yang terbatas, harga berbagai
komoditas pangan yang sering bergejolak, hingga praktik tidak sehat dalam
rantai distribusi pangan.
Faktor utama yang mempengaruhi naik turunnya
harga pangan adalah produk pertanian yang sifatnya musiman.Ada masa dimana
produksi mengalami puncak tinggi, ada pula masa dimana terjadi paceklik atau
tidak ada produksi.Kemudian, sifat dari produk pertanian yang sebagian besar
mudah rusak dan tidak tahan lama, otomatis tidak memiliki daya simpan yang lama
sehingga harus cepat dijual.Selain itu, persoalan harga pangan juga dipengaruhi
oleh elastisitas permintaan atau price
elasticity of demand (PED), yaitu ukuran respon perubahan jumlah
permintaan barang terhadap perubahan harga.
Berkaca
terhadap sejarah, terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari
interaksi integritas yang terdiri dari
berbagai subsistem diantaranya ketersediaan pangan, distribusi pangan dan
konsumsi pangan. Dimana mengenai ketersediaan pangan hal tersebut mencakup
aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan.
Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi
pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume
pangan yang tersedia bagi masyarakat
harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu.
Mengenai distribusi pangan hal tersebut mencakup aspek aksesibilitas secara
fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi ini tentunya
perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar
terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi
seluruh penduduk. Sedangkan masalah konsumsi pangan hal tersebut menyangkut
upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman
atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik. Impor pangan yang dilakukan
pemerintah setiap tahunnya merupakan upaya didalam menjamin ketersediaan pangan
nasional, tetapi sampai kapan negara akan bergantung kepada negara luar didalam
memenuhi kebutuhan pangan nasional. Untuk itu perlu upaya peningkatan produksi
pangan dalam negeri yang salah satunya dapat dilakukan dengan peningkatan
pembangunan sektor pertanian.
Di
dalam sektor pertanian terdapat beragam permasalahan yang menghambat jumlah
produktivitas pangan.Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah sumber daya
petani serta rendahnya kualitas petani dalam hal informasi dan teknologi
pertanian.Faktor lainjuga dipicurendahnya akses modal dan peran lembaga
pendukungserta minimnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan untuk
pengembangan Industri. Dengan memperhatikan permasalahan yang ada maka
diperlukan kebijakan, strategi dan upaya didalam meningkatkan pembangunan
sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Pembangunan
sektor pertanian bertujuan untuk pemenuhan pangan dan gizi serta menambah
kesejahteraan masyarakat.Langkah pertama yang bisa diambil bangsa Indonesia
adalah pengoptimalanperanan teknologi dalam perkembangan pertanian di
Indonesia. Teknologi dapat mempercepat proses tanam menanam hingga penyimpanan
produk pertanian. Teknologi juga mendukung pertukaran informasi antara pelaku
bidang pertanian sehingga info yang menyangkut hal vital dapat tersebar merata
di kalangan pelaku pertanian.Menyadur data dari Badan Ketahanan Pangan –
Kementrian Pertanian Indonesia yang mana juga memanfaatkan sistem teknologi
dalam penerapan E-Commerce dan E-monev pada “Toko Tani
Indonesia”.Dimana dengan program tersebut, diharapkan dapat membangun sistem
perdagangan elektronik Pangan Pokok dan Strategis
dengan basis teknologi informasi yang merata.Sehingga petani skala kecil tidak
tertinggal oleh perkembangan teknologi pertanian.Selain itu, Badan
Pertahanan Pangan juga dapat mengawasi status ketersediaan atau pendistribusian
pangan dengan cepat dan efektif.Terbukti pada
tahun 2019 realisasi kegiatan prioritas yang meliputi perputaran modal dan
penjualan beras mencapai Rp. 76.705.883.795,00 dari pagu sebesar Rp.
148.300.000.000,00 atau sekitar 51,72 persen. BPK juga menjelaskan melalui
program E-Commerce dan E-Monev, jumlah cadangan pangan
Indonesia terealisasi Rp. 23.532.822.276,00 dari pagu sebesar Rp.
31.778.000.000,00 atau sekitar 74, 05 persen. [2]
Kemudian
pengembangan teknologi dalam peningkatan produktivitas pertanian dapat
dikolaborasikan dengan program prioritas lain seperti diversifikasi tanaman
yang meliputi diversifikasi horizontal dan diversifikasi vertikal.
Diversifikasi horizontal itu sendiri merupakan upaya untuk mengganti atau
mendapatkan hasil pertanian yang bersifat monokultur ke arah pertanian yang
bersifat multikultur.Sedangkan diversifikasi vertikal memuat usaha untuk
memajukan industri pengolahan hasil pertanian itu sendiri.[3]
Seperti
yang kita ketahui Indonesia memiliki kebutuhan akan pangan yang terus meningkat
setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk yang pesat, serta penyempitan lahan
pertanian produktif akibat pembangunan perumahan dan sebagainya semakin lama
menjadi permasalahan jalan buntu.Diversifikasi tanaman dapat dimulai dari
pemanfatan lahan pekaranngan rumahtangga dan lahan-lahan yang tidak dikelola
agar tetap produktif.Selain itu, diversifikasi tanaman dapat dilakukan dengan
pergantian jenis tanaman serta diversifikasi tanaman dengan sistem tumpang
sari.Masyarakat Indonesia harus merubah kebiasaannya dalam mengkonsumsi nasi
atau beras, dan beralih ke makanan pokok lainnya seperti jagung, ubi-ubian,
gandum, serta sagu. Apabila diservikasi pertanian menerapkan sistem tumpang
sari, keuntungan yang diperoleh tidak hanya menambah produksi tanaman namun
juga mampu membantu tanaman dalam menahan serangan hama dan juga ikut menambah
unsur hara pada lahan.
Langkah
selanjutnya, dapat dilakukan dengan menggalakkan pembangunan sektor pertanian
dengan sistem agroindustri-agrobisnis. Pengembangan agrobisnis di Indonesia
merupakan tuntutan perkembangan zaman yang logis di era 4.0 sebagai wujud
kesinambungan, penganekaragaman dan
pendalaman pembangunan pertanian.
Pengembangan agrobisnis akan tetap
relevan walau telah tercapai setinggi
apapun kemajuan suatu negara. Bahkan agrobisnisakan menjadi andalan utama bagi suatu negara yang
masih sulit melepaskan ketergantungan pembangunan nasionalnya dari sektor
pertanian dan pedesaan seperti Indonesia.Sebagai contoh, program Smart Farmers yang diterapkan pemerintah
Thailand dibidang pertanian.Melalui program tersebut, pemerintah Thailand mampu
mengupdate teknik-teknik pertanian
dimana pertanian 4.0 dari Thailand berfokus pada penerapan teknologi tinggi
terhadap komoditas- komoditas utama dan komoditas-komoditas yang mempunyai
nilai terpadu.Hal inilah yang membuat Thailand dikenal sebagai salah satu
diantara negara-negara papan atas di dunia dalam ekspor agrobisnis. Dengan
kebijakan-kebijakan praktis dan efektif, Thailand tidak hanya siap untuk satu
pertanian 4.0, tetapi juga mengarah pada pelaksanaan target meningkatkan
pendapatan perkapita kaum tani sampai 7 kali lipat selama 20 tahun mendatang.[4]
Melihat
progres yang diraih Thailand, pembangunan dengan sistem agrobisnis jelas dapat
meningkatkan kuantitas, kualitas, produktivitas, pemasaran, dan efisiensi usaha
pertanian, baik yang dikelola secara mandiri maupun secara kemitraan. Program-program
peningkatan produktivitas petani yang bersifat menekan biaya produksi patut
digalakkan untuk memastikan keterjangkauan pangan bagi konsumen dan menghindari
ketergantungan terlalu tinggi dari perdagangan internasional. Dengan
pertumbuhan yang terus positif secara konsisten,sektor pertanian mampu menjadi
katup pengaman perekonomian nasional melalui pengembangan usaha berbasis
pertanian agrobisnis dan agroindustri. Sehingga, ketahanan pangan nasional
dapat terwujud.
Dilansir dari laman web McKibbin & Fernando (2020), diasumsikan bahwa sejumlah Negara tetangga akan membatasi ekspor sementara kebijakan perdagangan Indonesia tetap sama. Skenario ini merupakan refleksi tren belakangan ini, seperti India yang menutup pelabuhan-pelabuhannya akibat lockdown. Sebelum lockdown, Indonesia telah menegosiasikan perjanjian informal untuk mengimpor 200.000 ton daging kerbau dari India dan juga untuk menaikkan jumlah impor gula, sebagai balasan untuk ekspor minyak sawit Indonesia (Das & Ahmed, 2020). Berdasarkan perjanjian tersebut, Bulog berencana untuk mengimpor 5.000 ton daging kerbau India sebelum Ramadan, akan tetapi sekarang terkendala oleh kebijakan lockdown India, sesuai dengan wawancara media dengan Direktur Bulog (Yuniartha, 2020).
Di bawah skenario ini, Indonesia
akan menghadapi kesulitan untuk mencari sumber komoditas kunci dari mitra-mitra
dagangnya karena aksi unilateral mereka, tetapi juga tidak dapat segera
mengubah ke alternatif lain yang tersedia karena proses perizinan yang tidak
fleksibel. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian,
perlu memberikan dukungan ekstra untuk menjaga rantai pasokan pertanian tetap
berjalan dengan menyediakan upaya proteksi kesehatan di pelabuhan, kantor bea
dan cukai, karantina, fasilitas pemrosesan, dan fasilitas penyimpanan dengan
pendingin. Fasilitas-fasilitas tersebut harus dilengkapi dengan upaya
perlindungan yang memadai seperti masker dan fasilitas cuci tangan atau hand sanitizers untuk
melindungi para pekerja. Hal tersebut akan memastikan aliran pangan dan
pertanian akan terus berjalan sebaik mungkin tanpa membahayakan para pekerja
yang mendukung rantai pasokan penting ini.
[2]http://www.fao.org/data/en/
[3]https://kbbi.web.id/diversifikasi
[4]https://vovworld.vn/id-ID/rumah-asean/thailand-mengembangkan-pertanian-40-652926.vov