Selasa, 08 September 2020

 

Optimasi Teknologi dalam Membangun Ekonomi Kreatif - PKKMB FE UNESA 2020 "MASAYUKI WATANABE"

“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman” begitulah sepenggal lagu yang mendefinisikan tanah Indonesia.Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang diberkahi dengan bentang alam yang luas daniklim tropis yang memiliki intensitas hujan tinggi serta sinar matahari yang cukup sepanjang tahun.Dilihat dari sisi geologi, Indonesia pun terletak di daerah ring of fire pada titik pergerakan lempeng tektonik aktif yang menyebabkan terbentuknya pegunungan kaya akan mineral. Karena faktor tersebut, negara ini memiliki kualitas tanah yang menunjang tumbuhnya keanekaragaman hayati.Sehingga, banyak penduduk Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam.Oleh karena itu, Indonesia disebut sebagai negara agraris.

Sumberdaya alam seperti ini seharusnyamembangkitkan Indonesia menjadi negara makmur yang mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Namun pada kenyataannya pasokan pangan masyarakat di tanah air masih dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain, seperti Vietnam, Thailand, India, Myanmar, bahkan Pakistan. Sungguh kondisi yang sangat ironis, mengingat pada era 1980-ansejarah mencatat Indonesia pernah mengalami masa swasembada pangan, khususnya komoditas beras. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), pada saat itu produksi beras nasional mencapai angka sekitar 27 juta ton, sementara konsumsi beras dalam negeri tidak mencapai 25 juta ton.Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada era 1980-an Indonesia mengalami stabilitas ketahanan pangan.Indikator tersebut ditandai dengan harga pangan yang terjangkau.[1]

Tampak begitu perkasanya ketahanan pangan Indonesia kala itu, Namun pada kenyataannya ketahanan pangan Indonesia ternyata rapuh.Swasembada yang dibanggakan tersebut hanya mampu bertahan selama lima tahun. Hal ini mengharuskan Indonesia melakukan impor untuk menjaga kestabilan ketahanan pangan.Bahkan pada 1995 ketergantungan terhadap impor beras melambung hingga mencapai angka sekitar 3 juta ton.Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) dan BPS (Badan Pusat Statistik) persoalannya cukup dinamis, mulai dari persediaan yang terbatas, harga berbagai komoditas pangan yang sering bergejolak, hingga praktik tidak sehat dalam rantai distribusi pangan.

Faktor utama yang mempengaruhi naik turunnya harga pangan adalah produk pertanian yang sifatnya musiman.Ada masa dimana produksi mengalami puncak tinggi, ada pula masa dimana terjadi paceklik atau tidak ada produksi.Kemudian, sifat dari produk pertanian yang sebagian besar mudah rusak dan tidak tahan lama, otomatis tidak memiliki daya simpan yang lama sehingga harus cepat dijual.Selain itu, persoalan harga pangan juga dipengaruhi oleh elastisitas permintaan atau price elasticity of demand (PED), yaitu ukuran respon perubahan jumlah permintaan barang terhadap perubahan harga.

Berkaca terhadap sejarah, terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi  integritas yang terdiri dari berbagai subsistem diantaranya ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Dimana mengenai ketersediaan pangan hal tersebut mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan  yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Mengenai distribusi pangan hal tersebut mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi ini tentunya perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. Sedangkan masalah konsumsi pangan hal tersebut menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik. Impor pangan yang dilakukan pemerintah setiap tahunnya merupakan upaya didalam menjamin ketersediaan pangan nasional, tetapi sampai kapan negara akan bergantung kepada negara luar didalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Untuk itu perlu upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri yang salah satunya dapat dilakukan dengan peningkatan pembangunan sektor pertanian.

Di dalam sektor pertanian terdapat beragam permasalahan yang menghambat jumlah produktivitas pangan.Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah sumber daya petani serta rendahnya kualitas petani dalam hal informasi dan teknologi pertanian.Faktor lainjuga dipicurendahnya akses modal dan peran lembaga pendukungserta minimnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan untuk pengembangan Industri. Dengan memperhatikan permasalahan yang ada maka diperlukan kebijakan, strategi dan upaya didalam meningkatkan pembangunan sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk pemenuhan pangan dan gizi serta menambah kesejahteraan masyarakat.Langkah pertama yang bisa diambil bangsa Indonesia adalah pengoptimalanperanan teknologi dalam perkembangan pertanian di Indonesia. Teknologi dapat mempercepat proses tanam menanam hingga penyimpanan produk pertanian. Teknologi juga mendukung pertukaran informasi antara pelaku bidang pertanian sehingga info yang menyangkut hal vital dapat tersebar merata di kalangan pelaku pertanian.Menyadur data dari Badan Ketahanan Pangan – Kementrian Pertanian Indonesia yang mana juga memanfaatkan sistem teknologi dalam penerapan E-Commerce dan E-monev pada “Toko Tani Indonesia”.Dimana dengan program tersebut, diharapkan dapat membangun sistem perdagangan elektronik Pangan Pokok dan Strategis dengan basis teknologi informasi yang merata.Sehingga petani skala kecil tidak tertinggal oleh perkembangan teknologi pertanian.Selain itu, Badan Pertahanan Pangan juga dapat mengawasi status ketersediaan atau pendistribusian pangan dengan cepat dan efektif.Terbukti pada tahun 2019 realisasi kegiatan prioritas yang meliputi perputaran modal dan penjualan beras mencapai Rp. 76.705.883.795,00 dari pagu sebesar Rp. 148.300.000.000,00 atau sekitar 51,72 persen. BPK juga menjelaskan melalui program E-Commerce dan E-Monev, jumlah cadangan pangan Indonesia terealisasi Rp. 23.532.822.276,00 dari pagu sebesar Rp. 31.778.000.000,00 atau sekitar 74, 05 persen. [2]

Kemudian pengembangan teknologi dalam peningkatan produktivitas pertanian dapat dikolaborasikan dengan program prioritas lain seperti diversifikasi tanaman yang meliputi diversifikasi horizontal dan diversifikasi vertikal. Diversifikasi horizontal itu sendiri merupakan upaya untuk mengganti atau mendapatkan hasil pertanian yang bersifat monokultur ke arah pertanian yang bersifat multikultur.Sedangkan diversifikasi vertikal memuat usaha untuk memajukan industri pengolahan hasil pertanian itu sendiri.[3]

Seperti yang kita ketahui Indonesia memiliki kebutuhan akan pangan yang terus meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk yang pesat, serta penyempitan lahan pertanian produktif akibat pembangunan perumahan dan sebagainya semakin lama menjadi permasalahan jalan buntu.Diversifikasi tanaman dapat dimulai dari pemanfatan lahan pekaranngan rumahtangga dan lahan-lahan yang tidak dikelola agar tetap produktif.Selain itu, diversifikasi tanaman dapat dilakukan dengan pergantian jenis tanaman serta diversifikasi tanaman dengan sistem tumpang sari.Masyarakat Indonesia harus merubah kebiasaannya dalam mengkonsumsi nasi atau beras, dan beralih ke makanan pokok lainnya seperti jagung, ubi-ubian, gandum, serta sagu. Apabila diservikasi pertanian menerapkan sistem tumpang sari, keuntungan yang diperoleh tidak hanya menambah produksi tanaman namun juga mampu membantu tanaman dalam menahan serangan hama dan juga ikut menambah unsur hara pada lahan.

Langkah selanjutnya, dapat dilakukan dengan menggalakkan pembangunan sektor pertanian dengan sistem agroindustri-agrobisnis. Pengembangan agrobisnis di Indonesia merupakan tuntutan perkembangan zaman yang logis di era 4.0 sebagai wujud kesinambungan, penganekaragaman dan  pendalaman pembangunan  pertanian. Pengembangan agrobisnis  akan tetap relevan walau  telah tercapai setinggi apapun kemajuan suatu negara. Bahkan agrobisnisakan  menjadi andalan utama bagi suatu negara yang masih sulit melepaskan ketergantungan pembangunan nasionalnya dari sektor pertanian dan pedesaan seperti Indonesia.Sebagai contoh, program Smart Farmers yang diterapkan pemerintah Thailand dibidang pertanian.Melalui program tersebut, pemerintah Thailand mampu mengupdate teknik-teknik pertanian dimana pertanian 4.0 dari Thailand berfokus pada penerapan teknologi tinggi terhadap komoditas- komoditas utama dan komoditas-komoditas yang mempunyai nilai terpadu.Hal inilah yang membuat Thailand dikenal sebagai salah satu diantara negara-negara papan atas di dunia dalam ekspor agrobisnis. Dengan kebijakan-kebijakan praktis dan efektif, Thailand tidak hanya siap untuk satu pertanian 4.0, tetapi juga mengarah pada pelaksanaan target meningkatkan pendapatan perkapita kaum tani sampai 7 kali lipat selama 20 tahun mendatang.[4]

Melihat progres yang diraih Thailand, pembangunan dengan sistem agrobisnis jelas dapat meningkatkan kuantitas, kualitas, produktivitas, pemasaran, dan efisiensi usaha pertanian, baik yang dikelola secara mandiri maupun secara kemitraan. Program-program peningkatan produktivitas petani yang bersifat menekan biaya produksi patut digalakkan untuk memastikan keterjangkauan pangan bagi konsumen dan menghindari ketergantungan terlalu tinggi dari perdagangan internasional. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten,sektor pertanian mampu menjadi katup pengaman perekonomian nasional melalui pengembangan usaha berbasis pertanian agrobisnis dan agroindustri. Sehingga, ketahanan pangan nasional dapat terwujud.

Dilansir dari laman web McKibbin & Fernando (2020), diasumsikan bahwa sejumlah Negara tetangga akan membatasi ekspor sementara kebijakan perdagangan Indonesia tetap sama. Skenario ini merupakan refleksi tren belakangan ini, seperti India yang menutup pelabuhan-pelabuhannya akibat lockdown. Sebelum lockdown, Indonesia telah menegosiasikan perjanjian informal untuk mengimpor 200.000 ton daging kerbau dari India dan juga untuk menaikkan jumlah impor gula, sebagai balasan untuk ekspor minyak sawit Indonesia (Das & Ahmed, 2020). Berdasarkan perjanjian tersebut, Bulog berencana untuk mengimpor 5.000 ton daging kerbau India sebelum Ramadan, akan tetapi sekarang terkendala oleh kebijakan lockdown India, sesuai dengan wawancara media dengan Direktur Bulog (Yuniartha, 2020).

 

Di bawah skenario ini, Indonesia akan menghadapi kesulitan untuk mencari sumber komoditas kunci dari mitra-mitra dagangnya karena aksi unilateral mereka, tetapi juga tidak dapat segera mengubah ke alternatif lain yang tersedia karena proses perizinan yang tidak fleksibel. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian, perlu memberikan dukungan ekstra untuk menjaga rantai pasokan pertanian tetap berjalan dengan menyediakan upaya proteksi kesehatan di pelabuhan, kantor bea dan cukai, karantina, fasilitas pemrosesan, dan fasilitas penyimpanan dengan pendingin. Fasilitas-fasilitas tersebut harus dilengkapi dengan upaya perlindungan yang memadai seperti masker dan fasilitas cuci tangan atau hand sanitizers untuk melindungi para pekerja. Hal tersebut akan memastikan aliran pangan dan pertanian akan terus berjalan sebaik mungkin tanpa membahayakan para pekerja yang mendukung rantai pasokan penting ini.

 

Sumber:

[1] www.pertanian.go.id

[2]http://www.fao.org/data/en/

[3]https://kbbi.web.id/diversifikasi

[4]https://vovworld.vn/id-ID/rumah-asean/thailand-mengembangkan-pertanian-40-652926.vov

Tidak ada komentar:

Posting Komentar